22 Agustus 2007

Juru Bicara Hizbut Tahrir di Permata Hijau

Sudah lama saya mengikuti tulisan-tulisan Muhammad Ismail Yusanto (MIY) Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia di media massa, baik di Suratkabar-suratkabar Ibukota maupun di media-media Hizbut Tahrir (HT), berikut web dan milis-milis resmi HTI, termasuk dari Majalah Al Wa’i ,“corong” HT di Indonesia.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/26/opini/1581893.htm
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/08/opini/1602695.htm

Undangan Pengajian Wahdatul Ummah (PWU) yang dipimpin K.H. Dr. Agus Miftah (GM) pada 15.08.07 yang akan menghadirkan MIY di PWU Jumat malam, 17 Agustus lalu, rasanya sangat istimewa bagi saya. Kenapa? Pertama, karena inilah kelompok saudara muslim kita yang “akan mewujudkan” Khalifah dan sistem kekhalifahan untuk mengatasi problema dunia. Suatu yang krusial, mengingat apa “obsesi” Kelompok Saudara muslim kita ini, sudah lebih satu abad, dengan Karunia Ilahi, terwujud di dalam kehidupan Jemaat Ahmadiyah. Namun agaknya, subtansi kehilafahan yang difahami Ahmadiyah tidak (belum) sama yang difahami oleh HT. Yang kedua, karena HTI pekan lalu baru saja melangsungkan hajatan internasionalnya di Istora Senayan Jakarta yang menghadirkan sekitar 90 ribu ummat, termasuk undangan dari berbagai negara.

Yang menarik lainnya bagi saya adalah dampak hajatan internasional itu. Hampir semua negara muslim dari Timur Tengah mengirim nota protes ke Pemerintah RI yang telah memfasilitasi hajatan itu. Bahkan Negara-negara G7 pun tak ketinggalan ikut memprotes. Bahkan, konon, dari BIN ikut dibikin gerah. Sedahsyat itukah?

Saya dari Pandeglang, Banten sampai di PWU menjelang adzan magrib setelah menelusuri rel-rel K.A. yang tidak pernah tidak melelahkan. Di arena pengajian itu, saya yang pertama sampai. Maka sholatlah saya sebatangkara kemudian duduk-duduk di bangku pojok taman. Satu persatu tamu berdatangan. Ada dari IIQ (Institut Ilmu Alquran) Pasar Jumat Jakarta, Kelompok Pengajian Almunawwaroh, kalangan ibu-ibu dari Kalideres. Ada beberapa mantan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia) yang sudah mulai sepuh juga. Dari Jemaat Ahmadiyah hadir Nono Kukuh Sujano, Hadi Wahyudi S.E., Dr. Soekamana Soma (Kharijiah PB Ahmadiyah), Kamal Emong, keempat beliau ini dari Ahmadi Bogor. Ada generasi muda, khuddamul Ahmadiyah, Rahmat Ali dan Firdaus Mubarik dan seorang Lajnah, Ny. Desi Deviasi Widuri yang juga adalah Wakil Sekjen II Front Persatuan Nasional (FPN). FPN inilah penyelenggara pengajian Wahdatul Ummah ini.

Sekitar 30 orang yang mengikuti pengajian kali ini. Pangajian yang menghadirkan segala lapisan umat dari berbagai golongan Islam baik yang moderat maupun yang aliran “keras”. Baik dari Kalangan Nasrani, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu dan unsur-unsur Partai Politik Nasionalis dan Kebangsaan. Termasuk pula berbagai aliran kepercayaan. Menjelang pukul 20.00 WIB, keluar Dr. K.H. Agus Miftah dengan busana ala Wali Songo lengkap dengan sorban putih. Beliau inilah, yang seperti biasa, nantinya membawakan makalahnya sekitar 4 halaman folio kemudian disusul pembicara tamu sesuai dengan profesi dan minat topik pilihan pembicara tamu. Baru dibuka sesi diskusi. Kalau topiknya biasa-biasa saja, diskusi biasanya sampai pukul 22.30 Tapi kalau topiknya serius yang diikuti banyak pakar, bisanya hingga pukul 00.00 atau lewat.

Tepat pukul 20.05 datanglah pembicara tamu, Ismail Suyanto bersama nyonya. Masih tampak aura kegembiraannya setelah sukses menyelenggarakan hajatan internasional di Senayan.


Agama Kemarahan

Hizbut Tahrir (Kalau diindonesiakan, artinya kurang lebih, Partai Merdeka), berkeinginan untuk menjadikan Syariah dan Khilafah sebagai problem solving dari kegagalan pemerintahan sekuler di negara-negara muslim, tidak disertai dengan cetak biru yang implementatif. Sifatnya dogmatis, utopis dan lebih bersifat idealisme spekulatif yang hanya keras dalam anti Barat, tapi tidak solutif. Khilafah tidak bersifat konformitas dognmatis tetapi harus sepenuhnya rasional-praksis, mewakili semua alternative empiric yang mampu memberikan solusi. Tanpa itu maka syariah dan khilafah akan membawa petaka baru. Setidaknya, khilafah yang dipresepsikan oleh Hizbut Tahrir. Harus dicatat bawa Rasulullah saw. tidak menjadikan masalah kepemimpinan (khilafah) sebagai ritual yang bersifat ortopraksi, namun suatu kesepakatan syuro (demokratis) yang dinamis, prosesnya melalui kontak sosial (aqad mu’ahadah al-ijtima’iyyah) seperti membentukan negara kota Madinah, yang bahkan lebih mendekati bentuk sekuler daripada teokratik.

Jika yang dimaksud syari’ah dan khilafah adalah semata-mata pemerintahan agama yang teokratik-dogmatis, ini akan sangat berbahaya, karena akan menimbulkan konflik dan perpecahan dan antiklimaks nihilisme seperti yang dialami Syaikh Nursi di Turki. Tetapi, jika syariah dan khilafah berupa solusi rasional dengan agregat ekonomi, politik dan social budaya, terutama nilai-nilai kebangsaan, maka kami percaya terdapat harapan di dalamnya. Khilafah ala minhaj nubuwah bukan dogma yang harus dibaca harfiah, tetapi azaz dan nilai-nilai yang penerapannya harus konteks dengan problematik dan tuntutan zaman. Jika akidah dan ubudiyah dianjurkan bersifat salaf (ortodoks), maka ijtimaiyyah lebih dianjurkan bersifat jaded (moderen). Dalam moderenitas yang tauhidiyah, ada sisi dogmatis yang harus digali di masa silam tetapi yang terbanyak sisi rasional yang harus digali di masa kini dan masa depan.

Kita tidak memerlukan sekulerisasi, karena agama Islam tidak pernah menjadi hambatan bagi kemajuan social, bahkan sebaliknya menjadi faktor emansipasi sosial determinan. Yang diperlukan adalah pemaham umat yang lebih baik, agar dapa membentuk psyche ke arah yang lebih kreatif. Kita memerlukan suatu metode dakwah yang dapat memberikan psycho-cognitive yang mampu mengubah struktur schemata kepada bentuk konstitusi jiwa baru yang lebih kreatif. Modal personality kaum muslimin yang dogmatios utopis seperti orang-orang Kristen Mesianik itu harus diubah menjadi basic personality structure yang divergen, kreatif dan progresif. Maka sifat ketauhidan akan berubah menjadi energi dinamik yang akan mampu membangun kembali peradaban dunia baru yang islami. Lengkapnya Masyarakat dan Negara Pancasila yang Islami. Sejauh ini konsep syariah dan khilafah yang dipresisikan oleh Sauadara-Saudara sesama muslim kita, Hizbut Tahrir, termasuk di Indonesia lebih tampak sebagai agama kemarahan. Setidaknya pokok-pokok pikiran inilah yang sering kita baca dalam silang pendapat antara pemikir-pemikir di luar Hizbut Tahrir dalam mengkritisi HT. Termasuk Gus Miftah kali ini.

“Agama Kemarahan?” Inilah komentar Mohammad Ismail Yusanto (MIY) ketika tiba gilirannya membawakan pokok-pokok pikirannya seputar HTI sekaligus memberikan penjelasan banyak hal dalam keberatan-keberatan GM atas HTI.

“Mungkin lebih dari sekedar gairat keagamaan. Bukanlah kemarahan,” katanya dengan emosi yang tertahan disertai sedikit geram, tapi MIY juga ketawa. Peserta juga ketawa. Kemudian MIY juga mengatakan, tidak benar kalau HTI dikatakan tidak punya cetak biru.

“Punya, tapi tidak diketahui banyak orang. Beda arti dari ‘tidak punya’ dan ‘tidak diketahui’. Perlu dialog dan kami siap berdialog dengan semua pihak,” katanya dengan nada yang sudah mulai meninggi.

“Kecuali Ahmadiyah!” tiba-tiba seorang menyela pembicaan MIY. Semua orang menoleh ke sumber suara yang berada persis di samping kiri MIY. Suara Dr. Soekmana Soma yang merupakan Sekretaris Umur Kharijiah PB, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Ahmadiyah Indonesia dan salahsatu Ketua FPN.

“Soal Ahmadiyah, saya tegas. Saya setuju dengan Menteri Agama RI Maftuh Basuni agar Ahmadiyah kembali kepada Islam. Jangan ada kenabian baru. Kalau-toh mau tetap dengan pendapat itu, yaa-silahkan bikin Agama Baru,” sambil menoleh ke Dr. Soma, MIY menjelaskan pendapatnya ini.

Panjang lebar kemudian MIY menjelaskan visi dan misi HTI di Indonessia. Ia lebih banyak menyoroti berbagai hal yang ia sebut sebagai salah urus bangsa yang karena tak berdasarkan syariah. MIY juga mempertanyakan kalau HTI “bukan apa-apa”, mengapa Barat dan banyak negara mulai mewaspadainya.

“Kalau sudah ada kelompok yang punya Khalifah yaa-silahkan bereskan itu Irak,” kata MIY sambil menoleh ke Soma setelah Soma memaparkan konsep Khalifah versi Ahmadiyah yang dimulai dengan Surah Annur (24:56) “…yastakhlifannahum fil-ardhi—DIA pasti akan menjadikan mereka itu khalifah-khalifah di muka bumi ini.”

“Ahmadiyah tidak akan memerangi dan berperang. Tugas Ahmadiyah adalah memanggil manusia termasuk Bangsa-bangsa Barat agar memeluk Islam. Bila mereka memeluk Islam tentu akan jadi Saudara semua dan akan hilang persoalan-perswoalan seperti yang dihadapi ummat Islam dewasa ini,” demikian Soma.

Ummat dengan 200 juta pengikut

Lain lagi dengan cara Gus Miftah menjelaskan “pembelaannya” terhadap Ahmadiyah dengan logika guyon. Sambil menoleh ke MIY yang berada di sebelah kirinya (MIY diapit oleh Soma dan GM). GM mengemukakan, Ahmadiyah itu adalah organisasi Islam terbesar di dunia dengan pengikut 200 juta ummat yang berasal dari berbagai agama dan kepercaaan dan tersebar di sekitar 200 negara. “Jadi wajar saja jika dipimpin oleh seorang Nabi. Yaa-‘nggak mungkinlah ummat sebanyak itu hanya dipimpin oleh kyai-kyai biasa,” ungkap Gus Miftah yang disambut gerr peserta.

“Saya juga kalau punya ummat sebanyak dan sebesar itu, berani juga mengaku nabi,” tambahnya dan geeer lagi peserta pengajian. Pukul 23.15 acara tutup dengan foto-foto bersama pembicara dengan peserta pengajian. MIY dan Soma beramah-tamah. Namun Soma kemudian berbisik kepada saya, “Salaman-nya MIY belum ikhlas.” Sambil ketawa-ketawa kecil, Soma pergi dan pulang ke Bogor.

Dari kawan-kawan Ahmadi, minus Soma, masih bergerombol-gerombol membicarakan banyak hal dengan GM yang tak sempat diungkap di forum termasuk langkah-langkah FPN terkini. Termasuk membahas beritanya Mas Widji (Ketua Ahmadiyah Malang Jatim) yang juga salah satu Ketua FPN Jawa Timur yang akan maju menjadi Kandidat Balon (Bakal Calon) Gubernur Jatim dari jalur independent. Mas Wiji sudah mengantongi suara dari jalur guru-guru (PGRI) Jatim (?), termasuk warga FPN Jatim. Dosen salah satu perguruan tinggi di Malang ini dinilai oleh GM sebagai Ahmadi yang “bernyali” kuat. Kemunculan Wiji ini menurut GM adalah titik bangkitnya sayap politisi Ahmadiyah mutakhir.

GM mengingatkan, betapa banyaknya politisi, cendekiawan, diplomat, rohaniawan dan birokrat Ahmadi menjelang dan awal kemerdekaan RI hingga di era Bung Karno. Tapi kiprah dan gregetnya hilang senyap di era Orde Baru. Suatu kerugian Ahmadiyah yang amat besar yang kerugian itulah kemudian berdampak pada pengucilan Ahmadiyah di panggung Kebangsaan beberapa tahun terakhir ini. Perlu revitalisasi para politisi, cendekiawan, rohaniawan, ilmuan dan birokrasi dan diplomat Ahmadiyah di era kini. Ahmadiyah perlu merumuskan kembali dan konsep-konsep baru dan peranannya dalam bidang politik untuk turut serta membangun Negara Kebangsan kita.

Dalam studi-studi yang mendalam beberapa waktu terakhir ini, banyak organisasi-organisasi internasional yang berada di Indonmesia ini yang warganya mengalami abrasi nasionalisme karena terlalu asyik dengan dirinya sendiri dan sudah nyaman dengan kehidupan komunitasnya sehingga tidak peduli pada kehidupan politik yang lebih menyeluruh. GM berharap, semoga para Ahmadi ini di Indonesia tidak mengalami abrasi rasa nasionalismenya.

GM mengatakan juga, banyak oraganisasi non politik di Indonesia termasuk Muhammadiyah, NU dan lain-lain termasuk Ahmadiyah. Tapi tidak berarti berdiam diri untuk tidak mengasuh warga-warganya untuk berpolitik bagi kepentingan Bangsa dan juga untuk kelompok masing-masing.

Banyak Undang-undang akan lahir di waktu-waktu mendatang dan besar kemungkinan akan banyak undang-undang yang akan merugikan kehidupan kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Nah, kata GM, kalau politisi Ahmadiyah ada ditengah-tengah pembuat undang-undang itu kan bisa membela kepentingannya juga. Jangan nanti, kalau sudah ada undang-undang yang merugikannya, baru berteriak-teriak kepada Pemerintah dan kepada kelompok-kelompok lain untuk membantunya seperti beberapa tahun terakhir ini. Saatnyalah intitusi mengabil peranan yang jelas, akurat dan terprogram untuk melahirkan SDM-SDM Ahmadi yang handal termasuk membina politisi-politisi yang handal seperti Ahmadi-ahmadi di Eropa, Amerika dan di Afrika. Sudah bukan waktunya lagi membiakan SDM-SDM Ahmadi lahir, tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri.

GM juga meminta Ahmadi-Ahmadi yang lain, terutama yang ada di FPN untuk maju dalam pilkada-pilkada di berbagai tempat. Baik di tingkat Bupati dan Gubernur. GM bersyukur bahwa ide calon independen pertama digulirkan di Pengajian Wahdatul Ummah beberapa bulan lalu. Dan kini, Mahkamah Konstitusi telah mengesahkannya. GM akan ikut menyukseskan kampanye Mas Wiji di Jatim kalau sudah waktunya tiba. GM minta ada Anggota FPN yang Ahmadi yang masuk Pilkada dari jalur indepenmden di Jawa Barat yang tidak lama lagi juga akan memasuki waktu pilkada gubernur.

“Niat tulus orang-orang Ahmadi, berahlak mulia, bersih untuk tidak korup, perkerja keras, adalah modal terkuat yang kini dibutuhkan Bangsa. Sudah saatnya orang-orang Ahmadi tampil membenahi bangsanya, apapun resikonya. Bukankah mereka, orang-orang Ahmadi ini, mengklaim diri sebagai kelompok yang akan mewujudkan kemakmuran bangsa ini seperti yang dinubuatkan orang-orangtua dahulu dalam personifikasi Ratu Adil? Bukankah Anshar Ahmadiyah dalam ikrarnya ‘Selalu siap sedia berkorban untuk Nusa dan Bangsa dimana mereka berada.” GM mengingatkan, bahwa ikrar ini pernah ia dengar di Gondrong waktu menghadiri Ijtima Ansharullah Ahmadiyah setahun lalu.

GM masih berbicara banyak dan kawan-kawan Ahmadi ini masih terpaku. Kemudian terhenyak oleh dering ponselnya GM. “Wah, ini dari Ismail,” kata GM. GM dengan MIY bicara sekitar satu menit yang kemudian diperoleh informasi bahwa mobil sedan Honda Jazz milik MIY mogok. Radiatornya pecah menabrak membatas jalur di jalan samping RS Pondok Indah, Jakarta Selatan. Hanya butuh waktu 10 menit dari rumah GM ke lokasi kecelakaan.

Terus terang saya sedih atas musibah yang menimpa MIY. Nono Kukuh, Ali dan Daus saling berpandangan. Langkah apa yang akan kita ambil. GM dan MIY sepakat mobil yang naas itu ditarik ke Permata Hijau. MIY tinggal di Bogor, terpikir oleh kawan-kawan, biar Hadi dan Nono Kukuh yang mengantar nanti setelah mobilnya MIY di tarik. Mobil MIY tadinya akan diderek oleh mobil Hadi, tapi GM bilang biar Izusu Phanter anaknya saja. GM sendiri yang membawa tali khusus derek dari gudang belakang bersama putranya. Sambil tertawa kepada kami dan setengah guyon GM mengatakan “Wah, MIY ini ‘kualat’ kepada Ahmadiyah-nih. Waktu tadi, MIY menyudutkan Ahmadiyah di forum, saya sudah ada firasat bakal akan ada apa-apa, nih?!” Kami tidak ada komentar seperti itu. Kita hanya sedih, kenapa hal itu harus terjadi?

Maka ditariklah Honda naas itu dari Pondok Indah. Di mobil Phanter ada Ali, Firdaus dan Hanif Miftah sedang di mobil yang naas, Nono Kukuh yang menyetirnya, sedang saya di samping. GM menyenangi sikap tenang kawan-kawan Ahmadi ini dan tidak terprovokasi atas pernyataan-pernyataan MIY di forum. “Keluhuran ahlak orang-orang Ahmadi ini yang dari dulu saya kagumi. Inilah salah satu keberhasilan Pendiri Ahmadiyah mengangkat murid-muridnya pada tingkat emansipasi ahlak dari tingkat bawah, menengah dan menuju puncak ahlak terbaik. Ahlak kekasih-kekasih Tuhan,” kata GM mengakhiri pertemuan kita malam itu.

Ketika Sabtu 18 Agustus, kawan-kawan menengok Honda Jazz MIY. Masih dalam proses perbaikan. GM bercerita, bahwa MIY dari Yogya kontak dengan GM siang hari. MIY berterimakasih atas kebaikan orang-orang GM dalam mengantar kendaraanya ke Permata Hijau sedang MIY naik taksi ke Bogor bersama isterinya. “Wah, itu bukan orang-orang saya. Itu sahabat-sahabat Ahmadiyah kita, anggota pengajian di sini,” kata GM. “Oh, yah? Terima kasih,” hanya itu ungkap MIY dari Yogya. (*) [Banten, 21 Agustus 2007 M/7 Sya'ban 1428 H]

-------oooOooo-------

3 komentar:

Ahmad Badri mengatakan...

ass, jumpa juga di kaki langit

Deden mengatakan...

Assalamu'alaikum
waah lama gak ketemu orangnya, gak baca tulisannya akhirnya ketemu juga didunia maya...
jadi inget masa-masa diParung neh...
btw blognya saya link kesini ya!
Jazakumullah

Dildaar Ahmad Dartono mengatakan...

Assalamu 'alaikum

Khuda aap ko barkat dengge, aamiin

Dildaar Ahmad